Breaking News

BAKSOKU, HIDUPKU


Lagi dan lagi, gerimis mencurah dari mataku, hinaan menampar relung hatiku, apa salahku? Apa aku gak pantas belajar seperti mereka? Aku memang anak tukang panjual bakso keliling, tapi aku kan juga memiliki hak untuk menuntut ilmu di sekolah yang aku idamkan. Ahh,, biar saja Tuhan yang akan membalas mereka.

Setibaku dirumah, aku dikagetkan dengan sapaan kakakku, “hey jagoan, kenapa mukamu lesu kaya gitu? Ada yang mengganggu kamu lagi? Bilang saja, biar aku yang menghajar mereka.”
“tidak kak, aku lesu bukan karena ada yang menggangguku, tapi karena tugas sekolah yang super duper banyak kak, jadi kwalahan aku ngerjainnya”
“ooooo,,, gitu toh jagoan, kalo ada yang mengganggu bilang aja ke kakak!”

Kakakku ini memang perhatian, malah sangat perhatian terhadapku, aku bangga memiliki dia, karena itu, aku tidak mau melibatkan dia dalam masalahku.
Seperti biasa ketika mentari enggan menyajikan panas, ku luangkan waktu membantu bapak membawa jualan, panci besar berisi pentol aku jinjing dengan penuh semangat, tiap sudut mata iba melirikku, tapi tak sedikitpun wajahku menampakkan lelah, aku tak ingin dikasihani, sebab aku masih ingin sekolah.

Oaalaahhh Ran,,,, masih kecil kok udah kerja keras seperti ini?” celoteh ibu Ness
“hehe,, ibu santai aja, kerja beginian mah masih mudah untukku.” Jawabku enteng.
“ Rani,,, Rani,,, kamu masih kecil udah rajin banget, ibu salut sama kamu nak!”
“Ibu bisa aja deh” balasku dengan muka merah.

Satu lagi orang yang perhatian terhadapku, Dia adalah pemilik warung tempat aku menitipkan jualan bapak, Dia sering kupanggil dengan sebutan Ibu Ness, yang sampai sekarang aku belum tahu nama lengkapnya.

Sepulang dari warung Ibu Ness, biasanya aku mampir di Taman Sastra. Ya seperti namanya, di taman ini banyak karya hebat berkumpul, dari sini aku mulai menyukai sastra, aku mulai mempelajari meski hanya dengan menyimak dari bangku.

Pagi-pagi kukencangkan tali sepatu dan kukenakan ransel yang cukup berat, perjalanan jauh menuju sekolah siap kutempuh. Kicau burung kecil didahan pohon, hangat mentari pagi serta tetes embun yang kerap jatuh membasahi wajahku, semakin menambah semangatku ntuk terus menuntut ilmu.

Bel masuk berdering, kupercepat langkah sebelum guru mendahului. Ahh,, lagi dan lagi, setiap pagi ketika selangkah memasuki ruang kelas, aku selalu dikejutkan oleh jebakan anak-anak yang tidak senang dengan kehadiranku, entah balon air lah, boneka jelangkung lah, dan banyak sekali ide kreatif mereka untuk menggangguku, syukurlah ini hari ini hanya suara kuntilanak yang mereke sediakan.  Terkadang sebal aku dibuatnya. namun, apalah dayaku yang hanya anak seorang penjual bakso keliling, dibandingkan mereka yang anak direktur, PNS, polisi.

Hai Ran, kamu bisa membantuku istrahat nanti? Tanya Else penuh harap.
“iya, semoga aku gak ada kerjaan nanti” jawabku heran.
Aneh pikirku, kok Else baik terhadapku hari ini? Biasanya dia beserta teman-temannya selalu mengerjaiku. Tapi pikiran negatif kusisihkan dibagian lain otakku, bel istrahatpun berbunyi, dan Else menghampiriku.
“gimana Ran kamu bisa?”
“iya bisa, emang ngapain El?” tanyaku penasaran.
“kemarin di gudang belakang cicinku hilang, aku mencarinya tapi belum ketemu, kamu bisa bantuin aku mencari cicinku?”
“iya, ayo cepat kita kesana sebelum bel masuk berbunyi”ajakku bergegas.


Kupercepat langkahku ke gudang sekolah, lama kami mencari hingga Else pamit untuk ke toilet. Lama aku mencari cincin tanpa else sampai aku capek sendiri, tak disangka pintu gudang telah dikunci dari luar, aku menemukan selembar kertas yang bertuliskan.

Anak penjual bakso keliling tidak pantas untuk sekolah bareng kami
Kami anak orang-orang elit yang mempunyai nama
Pindah saja, cari saja sekolah yang pantas untukmu
Disini tak sesuai untukmu.

Hancur terasa hatiku membaca tulisan itu, apakah anak penjual bakso keliling tidak berhat untuk sekolah bareng anak orang elit? Bukankan hukum Indonesia menyatakan setiap masyarakat berhak mendapatkan pendidikan yang layak? Ahh,, biar saja Tuhan yang membalas perbuatan mereka.

Lama mereka menyekapku didalam gudang, sampai terndengar suara yang sangat kukenal memanggil-manggil namaku. “Ran,,,, Rani,,,,, kamu didalam?” Tanya Yanti dengan nada cemas.
“aku didalam Yan,,, kamu bisa bukakan pintu gudang ini?” jawabku penuh harap.
“bentar ya, aku cari kunci dulu”

Tak lama aku mendengar suara pintu yang terbuka, ternyata itu Yanti, aku berlari memeluk dia yang ditemani isak tangisku menceritakan semua yang telah menimpaku.
“sabar Ran, biar Tuhan yang membalas” balas Yanti penuh iba
“iya Yan, aku juga tidak mau mencari masalah dengan mereka”
“eh Ran, kamu kan suka menulis puisi, besok ada lomba membaca puisi yang diadakan pihak SMA tempatnya di aula, ikut yuk!” ajak Yanti.
“ iya dah, tapi kamu juga harus ikut ya!”
“iya jagoan, aku pasti ikut kok” jawab Yanti sambil terbahak-bahak.
“Itu kata-kata kakakku, kamu fotokopi ya?” celotehku gemes.

Kami pulang sambil sesekali menceritakan hal yang konyol yang membuat kami terbahak. Hingga aku melupakan hal yang menimpaku di sekolah tadi siang.

Keesokan harinya, bel istrahat berbunyi aku dan Yanti segera menuju aula untuk ikut lomba membaca puisi. Ternyata banyak sekali yang ikut lomba ini, hingga giliran akupun telah tiba.

Perlahan aku melangkah menuju panggung, hati gugup ditemani gemetaran sekujur tubuhku, aku memberanikan untuk cepat membaca puisi yang telah aku buat semalam.

Receh demi receh aku kumpul
Demi tertulis nama diselebaran sampul
Tahukah engkau wahai sahabat?
Tahukah engkau wahai kerabat?
Setiap kuah yang kau nikmati
Setiap bulatan bakso yang kau cicipi
Disitulah bergantung sejuta harapanku
Disitulah bergantung sejuta mimpiku
Tahukah engkau wahai sahabat?
Tahukah engkau wahai kerabat?
Meski aku hidup tanpa uang saku
Meski aku mengenakan bekas sepatu
Tetapi aku memiliki mimpi yang Satu
Menjadikan Indonesia menyatu

Baru saja kuucap kata usai, tiba-tiba saja Else datang memelukku dengan isak tangis sambil mengucapkan “Ran, aku minta maaf, kamu mau maafin aku kan?” “tentu saja sahabatku” jawabku tersenyum bahagia.

Penulis : Ari Wibowo