Breaking News

SOKOLA RIMBA DI-BUKIT TUJUH BELAS


Apa yang dilakukan oleh Saur Marlina (Butet) Manurung (35 tahun) dengan Sokola Rimba dipedalaman Bukit Tujuh Belas, Jambi, rupanya menjadi inspirasi untuk sebuah solusi memajukan pendidikan nasional di daerah terpencil. Hal ini dikemukakan pembahas yaitu oleh Aat Suratin, Budi Radjab, dan Irwanto dalam Diskusi Terbuka yang bertajuk “Adventure Education Experience” Membahas buku Butet Manurung yang berjudul  "Sokola Rimba"

Awalnya, Butet Manurung datang ke pedalaman Indonesia sebagai perempuan yang mencintai alam Indonesia yang memiliki kekayaan alamnya. Namun, ketika dia berinteraksi dengan masyarakat adat yang hidup di pedalaman itu muncul masalah bahasa sebagai alat komunikasi dasar. 

Sebagai perempuan sarjana bahasa Indonesia di UNPAD, dia melihat motivasi lain dibalik hobinya menjelajah hutan atau camping. “Hidup bagi saya, adalah melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain dengan hobi kita” katanya. Melalui hobi menjelajah alam itulah Butet Manurung menemukan metode belajar pendidikan dasar dengan menerapkan sistem Metode Silabel

Metode Silabel adalah sebuah metode yang diolah Butet adalah pengajaran bahasa Indonesia yang terbagi dalam 16 ejaan, yaitu pembagian konsonan-vokal berdasarkan bunyi dan Butetpun meramu dari pengetahuan antropologi dan bahasa yang pernah diperoleh di UNPAD untuk mengajarkan anak-anak rimba mengenal bahasa Indonesia selama dia berada di pedalaman Bukit Tujuh Belas, Jambi, Sumatera Timur. 

Butet juga mengatakan bahwa anak-anak dan masyarakat adat di pedalaman merasa tertekan oleh orang luar. Tekanan itu berupa justifikasi bahwa mereka itu primitif, bodoh, apdahal mereka merasa nyaman hidup seperti itu. Banyak orang luar yang melakukan penipuan kepada mereka, juga pencurian kekayaan alam atas nama organisasi yang tidak mereka mengerti.

Setelah mendapat pendidikan dasar dari Butet masyarakat adat yang menjadi komunitas didiknya mulai memahami dan mengetahui bagaimana berkomunikasi dengan orang luar yang datang ke tempat mereka. Mereka juga sudah bisa menghitung dan membaca, termasuk tahu kepada pihak mana untuk mengadukan perilaku individu atau organisasi yang melakukan pembalakan liar, pencurian kayu, dan tindakan kriminal lainnya. 

Dengan demikian, pendidikan yang dilakukan Butet di komunitas adat telah membuka akses pada pengetahuan dan peradaban, meskipun kesenjangan antara komunitas adat dan masyarakat luar masih ada. Hal itu dicapai oleh Butet selama empat tahun berbaur dan hidup bersama masyarakat adat. 

Dari proses itu, bukan hanya masyarakat adat saja yang belajar, tapi Butet sendiri juga telah belajar hingga cara pandangnya berubah. Yaitu ketika suatu hari ada beruang ganas dengan anaknya datang ke tempat Butet saat anak-anak didiknya sedang belajar. Butet ketika itu lari dan naik ke pohon, sementara anak-anak rimba yang sudah berumur 12 tahun lebih malah menantang induk beruang, dan menusuk-nusuk anak beruang dengan tombaknya secara beramai-ramai. 

Setelah peristiwa itu Butet menyatakan ketidak setujuannya. Namun mereka bersekukuh bahwa apa yang ada di depan mereka adalah rezeki dari Dewa mereka. “Dari situ saya jadi berpikir bahwa tidak mungkin dalam waktu yang singkat bisa menyadarkan mereka, butuh proses dan tetap beradaptasi dengan lingkungan kehidupan mereka” ujar Butet.

Butet Manurung kecil adalah salah satu “anak pingit”, jarang keluar rumah dan kemana pun dia pergi selalu diantar oleh supir. Masa kecil Butet pernah hidup di Belanda selama empat setengah tahun, Butet kecil hanya mengenal Jakarta dan Belanda, selain itu tidak ada. Butet kecil sangat menyenangi binatang kecil seperti semut, ulet berbulu, dan lain-lain.

Setelah masuk usia muda, Butet kuliah di UNPAD dan mengambil dua bidang studi dengan tahun ajaran yang berbeda, yaitu antropologi dan bahasa. Selama kuliah, Butet bekerja sambilan dengan mengajar Matematika dan Piano. Hasilnya ditabungnya agar setiap bulan bisa memenuhi hobinya menjelajah alam, mendaki gunung, camping dan memang selalu diidam-idamkannya sejak Butet masih remaja, karena sejak kecil Butet menjadi ‘anak pingit’ oleh ayahnya. Maka pada usia muda dia mampu mewujudkan hobinya itu untuk menjadi pecinta alam.

Apa yang dilakukan Butet Manurung dengan sekolah rimbanya itu tentu saja menjadi masukan yang penting dan berarti dalam upaya memajukan pendidikan nasional. 

Pendidikan nasional yang tidak hanya dilakukan di wilayah perkotaan dengan segala bentuk komersialisasinya, tetapi dengan metode pendidikan yang efektif dan benar-benar dirasakan positif oleh masyarakat luas, utamanya masyarakat pedesaan.

Penulis : Argus Firmansah/wartawan lepas tinggal di Bandung 2008
Editing : abunawarbima