Breaking News

BERINOVASI DEMI SENI SUNDA


Ia bertekad melestarikan budaya dan seni Sunda yang mulai tergeser. Berbagai inovasi dilakukan untuk menarik minat anak muda.

BUDAYA merupakan suatu warisan dari le luhur atau nenek moyang kita yang tidak ternilai harganya. Apalagi, Indonesia yang memiliki beragam suku bangsa. Sayangnya Indonesia baru merasa perlu melestarikan budaya setelah banyak negara yang mengklaimnya, seperti tari pendet, masakan padang, reog ponogoro.

Kepedulian akan seni budaya yang nyaris terlupakan mulai tampak. Salah satunya Ade Suarsa. Dari tangannya, tercipta alat musik bambu bernama Lodong dan tarian berjuluk Lodong Bogoran. Tidak tanggungtanggung kedua kreasinya itu mengantarkannya meraih penghargaan Pemuda Pelopor tingkat nasional di bidang seni dan budaya.

Di balik itu, Ade merupakan dalang di Kota Bogor, Jawa Barat. Tidak semata menggunakan latar belakang pendidikan formalnya untuk bekal mengajar bidang seni musik Sunda, Ade ternyata memiliki darah seni. Ayahnya merupakan dalang Ki De Sutisna dan ibunya sinden E Sutarsih.

Pria yang bercita-cita mengembalikan masa jaya tradisi budaya Sunda itu ingat berada di dalam kotak wayang sambil menunggu ayahnya manggung.Masih terlukis dengan jelas bagaimana masyarakat menggandrungi kesenian wayang golek dan menjadikan tontonan favorit. Sebagai dalang wayang golek yang kondang pada zamannya, hampir setiap hari Ki De Sutisna manggung.

Tidak hanya terkenal sebagai dalang wayang golek yang andal, sang ayah terkenal mahir membuat wayang golek. Di rumahnya Ki Sutisna juga mengajarkan warga sekitar menabuh gamelan. Jadi tidak heran kalau saat pentas, waragana atau penabuh gamelan semuanya warga sekitar.

Pengalamannya ikut pentas sejak kecil yang membulatkan niatnya mempelajari ilmu pedalangan secara formal. Selepas SMP, Ade bersekolah di SMKI Bandung jurusan pedalangan dan lulus tahun 1992.Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung jurusan karawitan dan lulus tahun 1995. 

Selanjutnya, Ade mendalami ilmu karawitan di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung lulus tahun 1998. Inovasi Setelah lulus STSI, Ade memutuskan pulang ke Bogor guna meneruskan usaha ayahnya untuk melestarikan budaya Sunda. Padahal, ia berpeluang menjadi dosen di almamaternya.

Di Bogor, Ade membantu ayahnya melatih anakanak dan warga sekitar sejumlah kesenian Sunda.Setahun sebelum lulus, tepatnya 1997 ayahnya meninggal. Pascalulus STSI, ia pun total menularkan ninggal. Pascalulus STSI, ia pun total menu ilmunya ke warga sekitar.

Tidak pernah sekali pun Ade menyesali ke putusannya meski pada awalnya sangat berat. Apalagi, tawaran mengembang kan karier seni di Bandung terbuka lebar. Namun, panggilan jiwa mengembangkan kesenian dan kebudayaan di kota kelahirannya lebih besar dan ilmunya le bih banyak bermanfaat di Bogor.

Tahun 1999, Ade diterima menjadi guru seni dan bu daya di SMA Budi Mulya Bogor. Di sana Ade membuat ekstrakulikuler kesenian. Ternyata peminatnya cukup banyak. Ia punmengajar kegiatan ekstrakulikuler di sejumlah sekolah di Bogor dari tingkat SD hingga SMA.

Kegiatan itu digunakan Ade untuk lebih mengenalkan budaya tradisional Sunda pada generasi muda yang dikemas dalm sejumlah inovasi.

Bukan hanya sekolah, tahun 2005, Ade mendiri kan Sanggar Etnika Daya Sora (Edas), yang berarti kekuatan suara tradisi. Di sanggar yang berlokasi di rumahnya itu, Ade melatihkan anak-anak seni sunda, seperti menari jaipong, bernyanyi dan gamelan secara gratis. Seperti tari jaipong, bernyanyi, dan bermain gamelan.

Melalui sanggar itu, Ade me ngemban misi memelihara seni budaya Sunda yang penuh kreativitas yang dibarengi dengan inovasi. Sejalan dengan perkembangan zaman demi memenuhi kelangsungan hidup seni budaya Sunda dan kehidupan para pelakunya.

Inovasi yang dibuat Ade dan teman-temannya tetap mengikuti pakem tradisi Sunda, seperti Langgir Badong. Sejumlah kreasi terus lahir dari tangan Ade dan berkat usahanya pada 2008 ia mendapatkan penghargaan sebagai Pemuda Pelopor tingkat nasional. Jika sang ayah jago membuat wayang golek, Ade sangat kreatif dalam membuat alat-alat musik kreasi baru yang hampir semuanya bahannya bambu.

Dari tahun 2005 hingga sekarang sudah ratusan anak yang rang sudah ratusan anak yang belajar dan berlatih di Sanggar Edas. Saat ini sekitar 50 anak dan remaja yang berlatih.Menariknya, me reka bukan hanya anak-anak dari suku Sunda, tapi lintas suku termasuk Tionghoa. 

Prestasi yang diraih anak-anak sanggar Edas cukup banyak, baik secara individual maupun atas nama sanggar. Mereka telah tampil di Istana Merdeka, Istana Bogor, dan Istana Cipanas. Selain prestasi dalam bidang seni, anak anak yang berlatih di sanggar Edas rata rata juga memiliki prestasi akademik di sekolahnya. Bagi Ade, lewat seni juga dapat menanam kan nilai-nilai budi pekerti pada anak-anak. (M-4)



miweekend@mediaindonesia.com 
Sumber : MI/22/03/2015/Halaman 16